I.HUKUM PERDATA YANG BERLAKU di INDONESIA
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata
disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta
kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan
pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan,
perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan
yang bersifat perdata lainnya. Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia
dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata,
antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di
Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang
terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa
kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum
lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda,
khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak
lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal
dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan
wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang
saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum
perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis
dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat
KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu: * Buku I tentang Orang; mengatur
tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status
serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan
mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan,
perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian
perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. * Buku II
tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak
dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara
lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda
meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan
kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda
berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak;
dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk
bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula
bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku
dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan. * Buku III tentang Perikatan;
mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun
istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan,
antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang
timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya
perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus
untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai
sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa
dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer. * Buku IV tentang Daluarsa dan
Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau
tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal
yang berkaitan dengan pembuktian. Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai
sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas
hukum di Indonesia.
II.SEJARAH HUKUM PERDATA
sejarah singkat hukum perdata
1. HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis
(Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus
Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan
suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang
bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu
Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di
negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari
Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda.
Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu
pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas
konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum
Perdata tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal
100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan
rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut
ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha
pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia
[pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan
Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat
nasional, yang diberi nama :
1. Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan
disingkat dengan KUHPdt.
2. Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan,
kitab ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6
Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830
terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga
kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun
BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan
bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse
Perancis. Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil
jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2. HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka
KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia
Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya
serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah
panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi
yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan
di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping
telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann
sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi
tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C.
Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke
negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti
oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di
angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya
dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van
Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan
Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi
KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai
KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi
KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada
tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan
peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW
Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai
induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah
hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata
yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada
awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan
Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia
sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok
Agraria No.5 Tahun 1960.
3. B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi
penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo
163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa &
yang dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal
berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya
hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan
keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W.
sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan
bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan
bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju
hukum Indonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo,
SH.-Menteri Kehakiman RI pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang
menganggap B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan hukum tak
tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga
Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang tidak sesuai
dapat ditinggalkan.
4. SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini
MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan
kepada semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran
tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt.
antara lain pasal berikut :
Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk
melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin
atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan
antara semua WNI.
Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir
diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian
pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan
anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu
penghibahan dengan akta notaris.
Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa
menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan
mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu
membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului
oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua
orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan suratgugat kepada tergugat dapat
dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan
terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang,
yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak
saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum
dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari
setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas
musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus
dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana
pertanggung-jawaban dimaksud.
Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan
diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak
mengenai perjanjian perburuhan
5. HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang
berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku
di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata
nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda
yang berlaku di Indonesiaberdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945,
mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan
Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum
perdata dikatakan nasional, yaitu :
a. Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata
barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat
yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah
diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan
dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga
hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga
mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyatIndonesia.
Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui hal
ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi.
Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang
GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa
pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum yang hidup didalam masyarakat .
Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata
barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis
buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
b. Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum
perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya
adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka
sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya
demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti
dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila
berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum &
perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji
benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan
hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan
hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem
nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang
diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c. Produk Hukum Pembentukan Undang –
Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat
Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah
Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun
digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada
bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional
perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan dalam bentuk
kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus
produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d. Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum
perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa
terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah
pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa
merdeka yaituIndonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI
berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat
diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang
ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.
e. Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum
perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia.
Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk
perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan hukum perdata
nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan
unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila
terutama nilai dalam sila ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai
dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.
SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA
1. Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum
perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata
ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya.
Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2. Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah
asal nya hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda
yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B.
W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang –
undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah
pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh
rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan peralihan.Atas
dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti
pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber
dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.
3. Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti
“tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad,
dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum.
Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam
arti tempat dimana hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai
warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber
dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih
bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad.
Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil
saja dalam Lembaran Negara RI.
KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA
1. Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang
hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa dan
dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan,
hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara.
Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka
Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih memerlukan
peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP, PerPres.
Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat
peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun
dalam satu bundle peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan
peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan peraturan
perkawinan, himpunan peraturan. Apabila Undang-Undang dibuat dalam bentuk
kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
q meliputi bidang hukum tertentu
q tersusun secara sistematis
q memuat materi yang lengkap
q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah
pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum
acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang dikodifikasikan
tersusun secara sistematis artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang
tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada bentuk & pengertian khusus.
Tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya.
Memuat materi yang lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan
penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua
ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi berasal dari kata
COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan
ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang yang tersusun secara
sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek,
Wetboek van Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.
2. Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan
yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang
diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi.
Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika
bentuk Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar
sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q tiap buku tersusun atas bab – bab
q tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi
kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2
macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan
hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi
sebagai berikut :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4
yaitu :
I. kelompok materi mengenai orang
II. kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan
bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I. Buku I mengenai Orang
II. Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika
KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan
ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya.
Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh
revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan
sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan
siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari
harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan
sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I. Buku I KUHPdt. memuat ketentuan mengenai manusia
pribadi dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat
ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan
kewajiban.
II. Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan
waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan
segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai
perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta
kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan
daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai
pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal
(hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya
hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun
dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian
yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah
pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan
yang ditetapkan oleh hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
1. Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata
karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar
hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib
mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai
pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat
sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan baik
dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat
misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat
& prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b. Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat
akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c. Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar
kerugian kepada yang dirugikan.
d. Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga
barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a. Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih
dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.
b. Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh
dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas
status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c. Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak
hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.
Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan
apakah bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan],
kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban
sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya
hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi
Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung
kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat
tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka
timbul hubungan hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik
adanya hak dan kewajiban
2. Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga
berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh
para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para
pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus sebagai
Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum
antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak
yang bertimbal balik antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa
hukum yang berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa,
hutang piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang
menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta
kekayaan. Ada 2 jenis :
q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam
taraf melahirkan kewajiban dan hak;
q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan )
artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan
kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan
perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan kesusilaan.
Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik
lebih mantap maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara
tertulis di depan Notaris.
3. Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena
ditetapkan oleh hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada
perbedaan dalam hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan siapa
sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena
jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa artinya
jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang
bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak
mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan
bantuan alat negara.
4. Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat
berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan
realisasi kewajiban hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu [1]
tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal
balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan
melanggar hukum. Apabila kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang
telah ditetapkan dalam perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab
kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan.
Jadi belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak
telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak
melaksanakan kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan
tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.
III.PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Menurut Daliyo, dkk, (1989: hal 40-41), hukum berfungsi
untuk, (1) menjadi alat ketertiban dan
keteraturan masyarakat, (2) menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin, (3)
menjadi alat penggerak pembangunan karena mempunyai daya mengikat dan memaksa sehingga
dapat dipakai sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat menjadi lebih baik, (4)
menjadi alat kritik, bukan hanya untuk mengawasi masyarakat namun juga mengawasi
pemerintah, para penegak hukum, dan aparatur pengawasan itu sendiri.
keteraturan masyarakat, (2) menjadi sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir batin, (3)
menjadi alat penggerak pembangunan karena mempunyai daya mengikat dan memaksa sehingga
dapat dipakai sebagai alat otoritas untuk mengarahkan masyarakat menjadi lebih baik, (4)
menjadi alat kritik, bukan hanya untuk mengawasi masyarakat namun juga mengawasi
pemerintah, para penegak hukum, dan aparatur pengawasan itu sendiri.
IV.KEADAAN HUKUM di INDONESIA
Mengenai keadaan hukum perdata di Indonesia sekarang ini
masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam. Faktor yang mempengaruhinya
antara lain :
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
1. Faktor etnis
2. Faktor hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a. Golongan eropa
b. Golongan bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c. Golongan timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan asli yang bukan berasal
dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu hanya bagian-bagian
yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak mengenai hukum
kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
Pedoman politik bagi pemerintahan hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya sebagai berikut :
1. Hukum perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di kodifikasi).
2. Untuk golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri belanda (sesuai azas konkordasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4. Orang Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum yang berlaku adalah hukum adat.
V.SISTEMATIKA HUKUM PERDATA di INDONESIA
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada 2 pendapat.
Pendapat yang pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-Undang
berisi:
Buku
I
: berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan
hukum kekeluargaan.
Buku
II
: berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan
dan hukum waris.
Buku
III :
berisi tentang perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik
antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
Buku
IV : berisi
tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian
dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat pembentuk Undang-Undang (BW)
§ Buku
1
: mengenai orang
§ Buku
II
: mengenai benda
§ Buku
III :
mengenai perikatan
§ Buku
IV
: mengenai pembuktian
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum/ Doktrin dibagi dalam
4 bagian yaitu:
I.
Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum,
mengatur tentang prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk
bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya tentang hal-hal yang
mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
II.
Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari
hubungan kekeluargaan yaitu:
-
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan
istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
III.
Hukum Kekayaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai
dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang
dimaksudkan ialah jumlah dari segala hak dari kewajiabn orang itu dinilaikan
dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku
terhadap tiap-tiap oarang, oleh karenanya dinamakan hak Mutlak dan hak yang
hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya di
namakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan
kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda
yang dapat terlihat.
- Hak
seorang pengarang atas karangannya
- Hak
seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang
untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
IV.
Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia
meninggal. Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari hubungan
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Sumber: http://advokat-rgsmitra.com
blog pribadi riana kesuma ayu, SH.MH
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Sultan Adam Banjarmasin

Tidak ada komentar:
Posting Komentar